Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim
Wawancara yang dimohon wartawati baru itu, oleh Presiden dikabulkan. Padahal, Annisa baru sepuluh bulan bekerja sebagai wartawati di media ini. (Kabar itu membengkakkan rasa cemburu rekan-rekannya, yang lebih senior). Lagi pula, semua orang tahu, yang mulia Presiden tidak mudah diwawancarai!
Dalam wawancara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Annisa. Selama wawancara dengan Presiden, tidak diperbolehkan membicarakan politik, ekonomi, baik dalam maupun luar negeri. Yang diperbolehkan hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Wawancara bertempat di serambi belakang istana (di mana tempat itu adalah bagian terindah dari istana).
Wawancara akan dilakukan pada jam dua siang. Annisa harus hadir lima belas menit sebelum wawancara dimulai. Tidak diperkenankan membawa fotografer. Dan paling penting yang harus diingat Annisa, tidak diperbolehkan memakai parfum. Presiden yang perokok berat itu, alergi terhadap parfum. Padahal, tanpa parfum kesukaannya, Annisa merasa gamang.
Tepat lima belas menit sebelum jam dua siang, Annisa, 26 tahun, tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, bermata lebar, kulitnya cokelat seperti tanah yang baru dibasahi hujan, putri bungsu dari empat bersaudara Bapak-Ibu Syahrul yang pengusaha, hadir di serambi belakang istana.
Jam dua siang tepat, yang mulia Presiden muncul dengan mengenakan baju warna gelap. Tanpa senyum, mengulurkan tangannya kepada Annisa.
Ada perasaan galau dalam diri Annisa. Dia mencoba menetralisir pikirannya yang kacau-balau (Terkagum-kagum kepada Presiden yang pernah dikenal dekat oleh bundanya). Annisa tersedot.
Sambil menyulut rokok yang digemarinya, Presiden berkata, "Anda bisa memulai dengan pertanyaan pertama."
Annisa yang untuk selanjutnya disebut dengan inisial (A), dan Presiden dengan inisial (P), memulai wawancara yang bagi Annisa, membuatnya gugup, berkeringat. (Bundanya pernah berkata, akan sulit baginya, mewawancarai lelaki yang suka menjaga jarak dalam pembicaraan mereka).
***
A: Di masa muda Bapak menyukai olahraga tenis, apakah Bapak masih sempat melakukan olahraga itu?
P: Saya masih melakukannya pada setiap Sabtu siang. Tetapi, setiap memukul bola, pikiran saya selalu tertumpu pada pekerjaan. Sehingga sulit memenangkan pertandingan yang saya adakan dengan pegawai-pegawai di lingkungan istana ini.
A: Saya kira, Bapak sangat menyukai pekerjaan, padahal tahun ini Bapak genap berusia berusia 60 tahun.
P: Kadang-kadang dalam usia ini, saya ingin sekali beristirahat untuk menikmati masa kerja yang begitu panjang temponya. Tetapi, harus Anda ketahui, hal itu tidak akan pernah saya lakukan. Karena, sekali lagi saya tegaskan, banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda.
A: Bapak beranggapan kerja menjadi keseluruhan hidup ini?
P: Saya tidak bilang begitu. Karena kadang-kadang saya juga menikmati waktu senggang dengan bermain tenis atau bermain dengan cucu-cucu saya. Keseimbangan itu bisa menyehatkan siapa saja.
A: Apakah Bapak masih menyukai seni, seperti di masa muda? Karena Bapak pernah menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Saya dan Bunda suka puisi Bapak yang berjudul Bulan di Atas Pohon Kenari.
P: Di masa muda adalah waktu yang mengasyikkan kala menciptakan puisi. Tapi itu sudah lewat. Pikiran saya selalu melompat-lompat pada problem yang desak-mendesak di negeri ini.
A: Apakah Bapak kecewa?
P: Tidak. Setiap orang berada pada situasi batas, di mana kita tidak bisa memiliki banyak pilihan.
A: Apakah sekarang Bapak masih suka nonton film seperti di masa muda?
P: Ya, film-film dokumenter, sejarah atau perang. Saya kurang suka menonton film roman. Melihat film itu seperti melihat ilusi yang bisa meninabobokan kita semua.
A: Menurut beberapa ahli mode, Bapak menyukai model-model konservatif dan cenderung menyukai warna gelap. Menurut majalah mode, Bapak adalah pria berbusana terbaik di tahun ini. Bagaimana komentar Bapak tentang pendapat para ahli mode itu?
P: Sejak muda, saya tidak mempedulikan mode. Buat saya, asal enak dipakai saja.
A: Kalau hidup ini bisa diulang, profesi apa yang Bapak sukai?
P: Penyair, karena saya bisa terlibat dengan banyak manusia, menulis kristalisasi kehidupan.
A: Apakah dengan menjadi Presiden, kita tidak bisa mengkristalisasi kehidupan ini?
P: Ibu Annisa, pertanyaan Anda lepas dari koridor perjanjian semula.
A: Maaf, sekarang bagaimana pendapat Bapak tentang perempuan?
P: Saya suka perempuan yang konvensional. Ini bukan berarti saya tidak menyukai wanita karier. Sebab, saya kira, pekerjaan apa pun pasti bisa menarik.
A: Bagaimana pendapat Bapak tentang cinta?
P: Saya kira, kita tidak bisa memanipulasi cinta. Untuk hal ini harus ada kerja sama.
A: Kalau saya boleh menyimpulkan, Bapak hanya mencintai kerja keras dan berharap semua orang bisa meniru sikap Bapak. Lantas apa yang tidak Bapak sukai?
P: Sikap malas dan perasaan lemah.
A: Biasanya, perempuan dianggap lemah karena gampang menangis, bagaimana pendapat Bapak?
P: Seharusnya perempuan yang tinggal di negeri ini bersikap rasional. Sebab, kehidupan di zaman ini siap tempur dan desak-mendesak.
A: Kenyataannya sekarang banyak perempuan bahkan laki-laki yang cengeng. Itu terlihat pada film-film, sinetron, novel-novel atau lagu yang mereka gemari.
P: Benar, di dalam buku saku saya, sudah ada rencana untuk menghimbau rakyat agar mereka meninggalkan kecengengan itu.
A: Tapi, kalau kita bersikap yang sama, dunia ini akan kehilangan warnanya. Bagaimana pendapat Bapak?
P: Paling penting adalah warna yang rasional.
A: Apakah Bapak masih bisa menikmati bunga yang mekar, misalnya?
P: Saya mencoba untuk tidak pernah terpesona pada segala hal.
A: Bagaimana pendapat Bapak tentang lomba go car yang baru-baru ini diadakan dan juara pertamanya cucu Bapak yang baru berusia tiga belas tahun?
P: Sayang sekali, saya tidak sempat menyaksikan lomba tersebut. Yah, kelihatannya memang menarik.
A: Bagaiamana pendapat Bapak tentang remaja masa kini?
P: Pada dasarnya saya berharap mereka bisa lebih kreatif. Ibu Annisa, saya kira wawancara ini bisa ditutup sampai di sini saja!
***
Pada kesempatan itu Presiden membuka sebuah kotak berisi sebentuk cincin bermata mirah.
"Seharusnya kotak ini saya berikan pada Bundamu, tiga puluh lima tahun yang lampau, di hari pernikahannya! Sekarang bisa kau berikan kepadanya. Bilang pada Ibumu, sebagai teman lama, saya menyarankan dia tidak hanya membuat novel-novel yang bertemakan kelemahan-kelamahan manusia saja."
Annisa gugup. Sebelum dia berbicara lebih lanjut, yang mulia Presiden berdiri.
"Kamu sangat mirip ibumu, Annisa! Tadi saya nyaris menyangka dialah yang hadir."
Annisa gelagapan. Dia merasa berhalusinasi ketika melihat kesedihan, cinta, kebencian, di mata laki-laki itu. Bundanya pernah berkata, lelaki ini sulit mengungkapkan perasaannya. Pada waktu yang sama, ayahnya melamar Ibunya.
Sebelum Annisa sempat berucap apa-apa, lelaki itu bergegas memasuki ruang kerjanya, melihatnya sepintas, kemudian menutup pintu ruang kerjanya!
***
Sore ini, di kamar, Annisa mencoba mengedit hasil wawancaranya dengan Presiden. Dia merasa kesulitan dan capek. Secara iseng Annisa membuka chanel TV, kemudian dengan geram mematikannya lagi, kala berita infotaiment sore itu mengatakan, Annisa berhasil mewawancarai Presiden, yang biasanya sulit diwawancarai! Dan, kata presenternya, bagaimana Anissa bisa semudah itu mewawancarai presiden.
Annisa berpikir, sebuah tembok mengelilinginya. Dia ingin menghancurkan tembok itu. Annisa mengerti bahwa lelaki itu mirip orang yang dicintainya. Padahal saat ini Annisa sudah bertunangan dengan lelaki lain.
Keputusan ini tidak mudah. Bundanya menganggap, dia tidak mengambil keputusan yang tepat. Bundanya berkata, "Kalau tidak ada ketegasan dalam hubunganmu, mengapa kau harus bertunangan dengan orang lain. Nduk, pernikahan itu tidak bisa disederhanakan, apalagi ketika kau marah dengan pacarmu, kemudian bertunangan dengan orang lain."
Annisa tidak bisa menceritakan kepada Bundanya. Dia sekarang paham, cinta mereka memunculkan pemberhalaan. Sehingga dia berpikir harus menghancurkan perasaan cintanya sendiri sebelum menjadikan pacarnya sebagai berhala dari perasaannya itu. Tidak mudah memang, seperti membelah diri sendiri. Apakah ini juga pernah dilakukan oleh Bundanya?
Diam-diam Annisa merasa Bundanya perempuan cerdas yang lebih punya intuisi terhadap kehidupan perkawinannya. Pernikahan orang tuanya berjalan biasa-biasa saja. Sejak kecil Annisa tidak melihat kejanggalan atau keburukan, dalam umur pernikahan mereka? Namun Annisa tumbuh sebagai anak bungsu yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya.
***
Sebetulnya, ceritanya harus dimulai dari sini. Annisa merasa seperti kebanyakan mahasiswa yang penuh cita-cita dan cinta. Namun gelisah terus-menerus. Sampai suatu kali dia merasa muak dengan segala hal. Di ruang perpustakaan dia membaca, bertemu dengan seorang laki-laki. Ini memang sebuah cerita klise. Namun, sejak itu perhatiannya tertumpah kepada laki-laki itu saja. Sehingga Annisa seperti diseret ke dalam arus yang besar dan tidak bisa kembali. Annisa tercekik dan putus asa. Cintanya sudah menjadi berhala yang berada di setiap sudut ruang kuliah, kamarnya, bahkan di sebuah ruang yang paling privat. Sepertinya Annisa sudah berteriak-teriak, berguling-guling untuk memutuskan itu.
Annisa mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan.
Kemudian, untuk pertama kalinya Annisa menyulut rokok kegemaran Presiden, mengurung diri dan bekerja keras tanpa mempedulikan tunangannya yang memanggil-manggil di luar kamar. "Annisa, apa yang terjadi denganmu? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungi ponsel atau telepon rumahmu," katanya lembut.
Annisa diam, diam saja. ***
Malang, 17 Januari 1984 / 30 Oktober 2004
0 comments:
Post a Comment