Cerpen Iwan RS
Nyonya Alvi tentulah ia seorang yang baik, ramah, dan boleh jadi sangat perhatian. Suatu kali ia pernah mengingatkan kerah bajuku yang kurang pas. Hal kecil sebenarnya tapi amatlah berarti semestinya ditaruh dalam hati. Itulah barangkali yang membuatku kerasan ngobrol dengannya. Obrolan kami tidaklah lebih dari soal bunga, lain dari itu secuil saja. Sesekali pernahlah kami ngobrol selain bunga, tapi bicara selain bunga hanyalah bumbu untuk ngobrol soal bunga. Hmm, Nyonya Alvi ia begitu tergila-gila akan bunga.
Begitulah, setiap Minggu pagi jam delapanan, aku musti mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia membeli bunga-bunga yang kubawa untuk dipeliharanya di pekarangan atau di belakang rumahnya yang karuan luas. Entah berapa banyak koleksi bunga hias yang dimiliki dengan beragam jenisnya. Sudah hampir tiga tahun setiap Minggu ia membeli bunga. Sepertinya membeli bunga merupakan suatu kemutlakan baginya. Itu yang Nyonya Alvi beli padaku. Sebelum aku, ia pernah punya penjual bunga, tapi penjual bunga itu telah pindah ke kota lain. Dicarilah penjual bunga baru. Dan akulah penjual bunga itu hingga kini.
Sorot mata Nyonya Alvi menunjukkan ia perempuan cerdas. Dan, pastilah ia akan teliti sekali kalau sudah memperhatikan bunga, berbinar. Bukan hanya itu, ia sentuh bunga-bunga tidaklah dengan alakadarnya, melainkan juga melibatkan perasaannya.
Alih-alih soal Nyonya Alvi yang begitu sangat mencintai bunga: sekiranya kuranglah pas untuk seorang Nyonya Alvi jika harus selalu kelihatan sendiri dan hanya berkutat dengan bunga-bunga saja. Setiap aku mampir, jarang terlihat suaminya, padahal menurut Nyonya Alvi suaminya sedang ada di rumah. Tapi kenapa jarang kelihatan berdua-duaan layaknya suami-istri. Ya, duduk bersama sambil minum teh sekadar mengisi waktu senggang, misalnya. Atau jalan-jalan pagi menikmati Minggu yang cerah, seperti keluarga pada umumnya. Setidaknyalah rumah besar itu tak berkesan hanya dihuni oleh bunga, pembantu, dan nyonya saja.
Beberapa kali saja kulihat, itupun dua tahun yang lalu. Dua kali tepatnya. Ya, aku ingat betul. Pertama, ketika lelaki itu menutup garasi setelah memasukkan mobil saat pembantunya lagi mudik. Kedua, waktu aku dan Nyonya Alvi asyik ngobrol di beranda seorang tamu menyatroni lalu menanyakan keberadaannya, masuklah Nyonya Alvi ke dalam: memanggil suaminya itu. Tak lama, keluarlah lelaki itu --suami Nyonya Alvi- pun hanya sebatas di ambang pintu saja guna mempersilahkan tamunya masuk. Setelahnya tak lagi aku melihatnya. Aku tak tahu persis, selain hari Minggu apakah mereka --Nyonya Alvi dan suami-- begitu akrab, suka jalan-jalan, ya setidaknya bertegur sapalah.
***
Minggu ini aku datang lebih pagi. Jam tujuh. Konon Nyonya Alvi punya acara --dikabarinya aku lewat telepon kemarin lusa. Maka dari itu kedatanganku diajukan. Ah, Nyonya Alvi, ia selalu terlihat cantik seperti Minggu biasanya. Ini kali rambut sebahunya berbasah-basah, usai keramas tentulah, diurainya berkali-kali dengan jari-jari lentiknya yang kukunya dicat merah, merah jambu jelasnya. Ah, tapi kenapa Nyonya Alvi kali ini sendu begitu? Hmm, sendu tapi masih nampak cantik. Justru perempuan akan nampak sempurna jika berona sendu-merayu seperti itu. Ah, Nyonya Alvi, pastilah lelaki beruntung yang dapat menyangkarkannya. Ya semacam anugerahlah.
"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin tapi agak kecil, dibawa?" Ya, gaya bicaranya. Aku suka gaya bicara Nyonya Alvi yang khas itu. Intonasinya enak disimak. Bibirnya berkecumik sedemikian rupa jika sedang bicara, tapi tidaklah terkesan direka. Wajar, indah dan tepat.
"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil, dibawa?"
"Ya, ya, aku bawa. Tulip yang indah, Nyonya Alvi pasti suka."
"Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil. Bukan Tulip. Kalau Tulip kemarin juga sudah ambil."
"O, maaf," aku gugup. "Ya, anggrek. Ah, anggrek yang Nyonya pesan itu, kan? Saya bawa tiga dengan jenis yang berbeda. Silahkan Nyonya ?"
"Hmm, merah, jingga, kuning?Yang ini saja, jingga."
"Baik, Nyonya."
"Letakkan di selasar sebelah sana. Saya ambil uang?"
"Iya, Nyonya."
Nyonya Alvi masuk ke dalam. Memalukan! Pastilah tadi ia kentarai kekikukanku yang aku sendiri tak memahami. Langkah sepatunya mendekat. Ah, sebaiknya aku menguasai diri dari ketololan.
"Ini uangnya?"
"Terima kasih, Nyonya."
"Untuk Minggu besok, bawakan saya Mawar Hitam."
"Mawar Hitam?"
"Ya. Kenapa?"
"Eem, tidak apa. Berapa Nyonya?"
"Sebanyaknya."
"Sebanyaknya?"
"Kenapa?"
"Tidak. Baiklah. Minggu besok saya bawakan Mawar Hitam. Sebanyaknya?"
Nyonya Alvi masuk, sedikit terburu, mungkin karena segera bersiap untuk pergi.
***
Sesuai pesanan, aku bawa Mawar Hitam sebanyaknya. Pesanan aneh sebenarnya. Soalnya setiap ngobrol soal bunga, luputlah Nyonya Alvi menyinggung Mawar Hitam, apalagi memesan. Ah, tapi itu bukan urusanku. Aku sekadar penjual bunga. Jadi mengekor sajalah soal selera. Tapi?
Nyonya Alvi menyuruhku menunggu di ruang tamu, sebelum ia ngeluyur ke dalam tadi. Megambil sesuatu mungkin, entah apa. Baru kali ini aku singgah di ruang tamu. Bersih juga nyaman. Dari sini, leluasalah ke mana pandangan hendak diedarkan. Sesuka hati.
Keluar sana? O, tentulah akan menerobos bentangan kaca yang menyungkup ruang tamu ini, kemudian dapatlah kita mengintai pekarangan dengan gamblangnya. Pekarangan yang dicokoli warna-warni bunga yang bergerombol indah.
"Berapa banyak Mawar Hitam yang dibawa?" Nyonya Alvi mengujar setelah duduk di sofa.
"Semua Mawar Hitam yang saya punya," jawabku segera.
"Terima kasih. Letakkan semuanya di ruang tengah."
"Semua, Nyonya?"
"Ya."
Aku keluar untuk menjemput seabrek Mawar Hitam di mobil pengangkut bunga yang kuparkir di luar pagar. Nyonya Alvi masuk ke ruang tengah, pastilah hendak menata ruang di mana ratusan Mawar Hitam akan diposisikan.
"Di mana, Nyonya?" tanyaku dengan beberapa Mawar Hitam di tangan.
"Di sini. Letakkan semua di sekitar sini?"
Ah! Aku terhenyak lantas tertegun. Tentulah melihat peti itu. Peti di tengah ruang tengah ini. Peti yang dikelintari banyak lilin. Ya, peti mati yang telah disemayami seorang lelaki membujur dangan wajah pucat pasi serta mata mengatup rapat. O, lelaki itu?
"Minggu kemarin ia pulang. Livernya tak tertolong," ujar Nyonya Alvi dengan mata yang tiba-tiba sedikit berkaca.
Aku masih tertegun. Kulihat mata Nyonya Alvi berlinang. Ah, ia seperti mengharap kesudianku mendengar kalimat-kalimatnya yang sesekali terpatah oleh seniknya. Sekadar mendengar, tak apalah. Sedikitnya dapatlah melegakan hatinya yang mungkin tengah berjelaga, seperti mawar: Mawar Hitam.
"Saya membenci lelaki ini," lanjut Nyonya Alvi sambil memandang isi peti. "Ia kasar. Tapi entah kenapa saya begitu mencintainya. Jika ia tak pulang berhari-hari, berbulan-bulan lamanya keliling kota, saya tahu yang dilakukannya hanyalah menuntaskan bergelas-gelas alkohol dan berburu perempuan. Keraplah ia pulang dengan sempoyongan. Ya, duapuluh tahun pernikahan kami, tanpa anak, hambar, tanpa tegur-sapa yang berarti kecuali di atas ranjang usai mereguk seks. Seks kadang membuat segalanya menjadi mudah. Tapi, entahlah saya sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang saya lakukan ini. Ketololankah? Sungguh saya tak tahu. Saya hanya tahu bahwa saya selalu merasa ingin terus bersamanya. Itu sebabnya kenapa saya terus bekutat bersama bunga-bunga. Semata, agar saya selalu terus berada di rumah. Bersamanya, meski tak bersapa. Menunggunya, meski tak pulang. Tak apa, saya setia. Setia macam apa? Ah, saya juga tak tahu. Orang pasti akan mencibir nyinyir: ah! Nyonya Alvi tak lebih dari seorang perempuan tolol! Tak apa. Saya mencintainya. Ia telah pergi sekarang. Dan entah kenapa pula saya ingin meletakkan Mawar Hitam di sekeliling petinya, sebelum ia diusung ke pusara guna tetirah di kedamaian surga."
***
Minggu pagi yang cerah. Seperti biasa aku berkelintar ke setiap rumah membawa aneka bunga merekah. Ah, kali ini, aku tak mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia memang tak lagi memesan bunga. Ia tak lagi mencintai bunga setelah suaminya tetirah di kedamaian surga? Mencintai siapakah Nyonya Alvi kini? ***
Sanggar Suto, 2004
0 comments:
Post a Comment