"WELCOME TO GUDANG ARTIKEL - PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR"
Home » » ANALISIS LOKASI INDUSTRI

ANALISIS LOKASI INDUSTRI


A. Lokasi Industri


Pemilihan lokasi industri memiliki arti yang sangat penting sebab akan mempengaruhi perkembangan dan kontinuitas proses dan kegiatan industry.

Faktor yang mempengaruhi dan perlu diperhitungkan dalam menentukan pilihan lokasi industri disebut faktor lokasi yang terdiri atas bahan mentah, sumber tenaga, pasar, sarana, pengangkutan, ketersediaan air, dan lainnya. Masalah lokasi timbul karena unsur-unsur yang mempengaruhi faktor lokasi tersebut tidak selalu terdapat pada daerah yang sama dan sering terpencar. Oleh karena itu, berdasarkan orientasi faktor-faktor lokasi yang mempengaruhinya maka ada kecenderungan lokasi industri berada dekat dengan bahan mentah atau berada dekat sumber tenaga atau berada sumber tenaga kerja atau dekat dengan pasar.

Beberapa industri seperti industri makanan, minuman, industri kulit (sepatu), dan industri pakaian mungkin bisa ditempatkan dimana saja ( foot-lose industry ). Akan tetapi, pada umumnya industri demikian akan memilih daerah pasar sebagai lokasinya. Pada pembahasan kali ini kita akan membahas dua teori yang dapat menjadi acuan dalam menganalisis lokasi industri.

1. Teori Susut dan Biaya Pengangkutan. 

Teori susut di sini maksudnya adalah pengurangan berat yang terjadi karena proses pengolahan. Misalnya, pada industri minyak kelapa, 100 kg kopra (kelapa kering) hanya bisa menghasilkan 25 kg minyak kelapa. Hal tersebut menunjukkan bahwa setelah melalui proses pengolahan akan mengalami pengurangan berat.

Secara umum, teori susut dan biaya pengangkutan mengemukakan hubungan-hubungan antara faktor susut dan biaya pengangkutan. Teori ini bermanfaat untuk melihat kecenderungan lokasi industri, artinya dapat mengkaji kemungkinan-kemungkinan penempatan suatu industri (pabrik) di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi.
Tabel 1.1
Pada tabel 1.1 dijabarkan empat kasus suatu pabrik yang mengolah bahan mentah (M) yang berasal dari satu daerah sumber bahan mentah (SM), menjadi satu macam barang jadi (B), yang kemudian dijual di suatu daerah pasar (P). Pada contoh, digunakan dua variabel, yaitu susut dan biaya pengangkutan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi jalannya industri dianggap sama dan diabaikan.

Hasil perhitungan biaya pengangkutan seperti pada contoh diatas menunjukan pada kasus A dan B industri/pabrik cenderung ditempatkan di daerah sumber bahan mentah. Akan tetapi, pada kasus C dan D sebaliknya, pabrik cenderung ditempatkan di daerah sumber bahan mentah.

Menurut perhitungan, ternyata jumlah biaya pengangkutan yang harus dikeluarkan lebih rendah. Pada kasus D besarnya biaya pengangkutan berbeda dengan kasus A, B, dan C. Coba hitungkan kemungkinannya jika pada kasus D besarnya biaya pengangkutan disamakan dengan kasus A, B, dan C.

Terdapat dua kesimpulan dalam pemilihan lokasi yang baik (dengan catatan faktor-faktor lainnya sama) menurut teori susut dan biaya pengangkutan. Pertama, makin besar angka rasio susut dalam pengolahan, makin kuat kecenderungan menempatkan pabriknya di daerah bahan mentah. Kedua, makin besar perbedaan biaya pengangkutan antar bahan mentah dan bahan jadi, makin kuat daerah pasar dijadikan sebagai tempat lokasi industri.

2. Teori Weber 


Weber mengemukakan teorinya dalam bukunya yang terkenal Theory of The Location of Industries (1909). Teori Weber dimulai dengan beberapa premis sebagai berikut.
  1. Unit analisis tunggal, merupakan daerah yang terisolasi yang homogen baik mengenai iklimnya, topografi maupun penduduknya.
  2. Beberapa sumber alam seperti air dan pasir, mudah diperoleh dimana saja, sedangkan sumber alam lain hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja, misalnya batu bara dan bijih besi.
  3. Biaya pengangkutan adalah fungsi dari berat dan jarak, artinya makin bertambah sesuai dengan berat dan jaraknya. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan peran biaya pengangkutan terhadap kemungkinan dan kecenderungan lokasi industri.
Kasus A: Satu Pasar dan Satu macam Bahan Mentah Jika suatu industri hanya mengolah satu macam bahan mentah dan memasarkannya pada satu daerah pasar maka ada tiga kemungkinan lokasi industrinya.
  1. Jika bahan mentah yang dibutuhkan mudah diperoleh dimana saja maka pabriknya dapat atau cenderung ditempatkan di daerah pasar.
  2. Jika bahan mentah yang diperlukan hanya terdapat di daerah tertentu saja dan mengalami susut dalam pengolahannya maka pabriknya dapat ditempatkan baik didaerah pasar maupun daerah bahan mentah.
  3. Jika bahan mentah hanya terdapat di daerah tertentu saja dan mengalami susut dalam pengolahannya maka industrinya akan ditempatkan di daerah sumber bahan mentah.

Harus diingat bahwa besarnya biaya pengangkutan berkaitan langsung dengan berat barang yang diangkut.


Kasus B: Satu Daerah Pasar dan Dua Macam Bahan Mentah Jika industri mengolah dua macam bahan mentah (M1 dan M2), hasilnya hanya dipasarkan di suatu tempat tertentu saja maka industri itu akan ditempatkan di salah satu kemungkinan berikut.
  1. Jika M1 dan M2 mudah diperoleh dimana saja maka industri itu akan ditempatkan di daerah pasar.
  2. Jika M1 mudah diperoleh dimana saja sedangkan R2nya hanya terdapat di suatu daerah tertentu saja duluan daerah pasar dan jika keduanya tidak mengalami susut dalam pengolahan maka industri tersebut akan ditempatkan di daerah pasar. Biaya pengangkutan hanya dikeluarkan untuk R2.
  3. Jika kedua bahan mentah (M1 dan M2) hanya terdapat di daerah- daerah tertentu yang berlainan dan mengalami susut dalam pengolahannya maka pemecahannya agak sulit. Untuk itu, Weber memperkenalkan teori yang disebut location triangle (segitiga lokasi) dengan titik sudutnya adalah daerah pasar (P), dan daerah-daerah sumber bahan mentah (M1 dan M2). Contohnya, suatu industri mengolah R1 dan R2. keduanya mengalami susut 50%. Setiap tahunnya diperlukan masing-masing bahan mentah itu 2.000 ton.


a. Jika industri itu ditempatkan di P maka biaya pengangkutan yang harus dikeluarkan pertahunnya adalah sebagai berikut.


R1 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
R2 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
Jumlah = 400.000 ton-km

b. Jika industri itu ditempatkan di M1 maka biaya pengangkutan itu adalah:

R1 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
P = 2.000 ton x 100 km = 200.000 ton-km
Jumlah = 400.000 ton-km
c. Jika industri itu ditempatkan di titik X maka biaya pengangkutan yang harus dikeluarkan pertahunnya menjadi:

R1 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
R2 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
P = 2.000 ton x 87 km = 174.000 ton-km
Jumlah = 374.000 ton-km

Biaya pengangkutan pada poin C ternyata lebih rendah dibandingkan dengan A dan B. Ini berarti bahwa penempatan atau lokasi industri di X akan lebih menguntungkan jika industri itu ditempatkan di P, M1, atau M2 1. Pengumpulan Data Berikut ini data yang harus dikumpulkan untuk kepentingan analisis lahan pertanian.


B. Lokasi Pertanian 

Menganalisis suatu lokasi pertanian (Gambar 1.22) tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, secara umum analisis lokasi pertanian dapat disederhanakan ke dalam dua tahapan yaitu proses pengumpulan data dan penentuan kriteria kelas lahan pertanian itu sendiri.

1. Pengumpulan Data 

Berikut ini data yang harus dikumpulkan untuk kepentingan analisis lahan pertanian.
  1. Iklim dan musim, yaitu curah hujan, suhu udara, angin, dan kelembapan udara.
  2. Topografi, yaitu lereng tunggal (datar, landai, miring, curam, dan terjal) dan lereng majemuk (datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan ber- gunung).
  3. Proses geomorfik, yaitu erosi, longsor, banjir, dan pengenangan.
  4. Tanah, yaitu tekstur, struktur, keda- laman tanah yang subur, perakaran, kapasitas dalam menahan air, drainase, permeabilitas, kebatuan, kesuburan, salinitas, erodibilitas, dan kedalaman lapisan padas.
  5. Tata air, yaitu kemampuan dalam menyerap air dan kedalaman muka air.


2. Kriteria Lahan Pertanian 
Setelah proses I, yaitu data terkumpul dan dibandingkan satu aspek dengan aspek yang lain, langkah selanjutnya adalah menentukan kriteria kelas lahan pertanian. Berikut ini dijabarkan kelas-kelas lahan bagi pemanfaatan pertanian berdasarkan tabulasi silang data-data yang terkumpul pada poin 1 di atas.

  1. Kelas I.  Tanah pada lahan ini sesuai untuk segala jenis penggunaan tanpa perlu tindakan pengawetan tanah yang khusus, seperti lereng yang datar, bahaya erosi yang kecil, solum dalam, drainase baik, mudah diolah, dapat menahan air dengan baik, responsif terhadap pemupukan, tidak terancam banjir, dan iklim setempat sesuai untuk pertumbuhan tanaman.
  2. Jenis tanah pada lahan kelas ini tidak mempunyai penghambat ataupun accaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan pemeliharaan struktur tanah diperlukan agar lahan dapat mempertahankan kesuburan dan produktivitasnya.
     
  3. Kelas II.  Tanah pada lahan ini sesuai untuk segala jenis kegiatan pertanian dengan sedikit hambatan dan kerusakan. Ciri tanah kelas II ini, yaitu lereng landai, kepekaan erosi sedang atau telah mengalami erosi, bertekstur halus hingga agak kasar, solum agak dalam, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas ringan-sedang, kadang terlanda banjir, drainase sedang, dan iklim agak kurang koheren dengan jenis tanaman tertentu.








  4. Jika digarap untuk jenis tanaman semusim sedikit diperlukan konservasi tanah, seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, guludan, selain tindakan pemupukan seperti pada tanah lahan kelas I.
     
  5. Kelas III.  Tanah pada lahan jenis ini memerlukan konsentrasi yang lebih dalam menangani konservasi tanahnya karena mempunyai ancaman kerusakan yang lebih besar dibanding kelas sebelumnya. Ciri tanah ini, seperti lereng agak miring dan bergelombang, drainase buruk, solum sedang, permeabilitas tanah bawah lambat, peka terhadap erosi, kapasitas menahan air rendah, kesuburan rendah dan tidak mudah diperbaiki, sering kali mengalami banjir, lapisan padas dangkal, salinitas sedang, dan hambatan iklim agak besar.








  6. Kelas IV.  Tanah pada lahan jenis ini mempunyai penghambat yang lebih besar dari kelas sebelumnya, yaitu lereng miring (15-30%) dan berbukit, kepekaan erosi besar, solum dangkal, kapasitas menahan air rendah, sering tergenang, drainase jelek, salinitas tinggi, dan iklim kurang menguntungkan.









  7. Kelas V. Tanah pada jenis lahan ini tidak sesuai untuk jenis tanaman semusim karena lereng datar atau cekung, seringkali terlanda banjir, sering tergenang, berbatu-batu, pada perakaran sering dijumpai catclay, dan berawa-rawa.








  8. Jenis ini lebih cocok untuk hutan produksi atau hutan lindung, padang penggembalaan atau suaka alam.
     
  9. Kelas VII Jenis tanah pada lahan ini tidak sesuai untuk pertanian, penggunaannya terbatas untuk padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam. Pengelolaan lahan perlu dibuat teras bangku, pengolahan lahan sesuai kontur, sedangkan penutupan tanah dengan rumput perlu diusahakan.








  10. Ciri jenis ini, yaitu kecuraman lereng 30 sampai 45%, ancaman erosi berat, jika telah erosi berat ditanggulangi, solum tanah sangat dangkal, berbatu-batu, dan faktor iklim pun tidak mendukung.
     
  11. Kelas VIII. Lahan kelas ini tidak sesuai untuk pertanian dan teknik konservasi lahan ini dengan cara didiamkan dalam keadaan alami. Ancaman kerusakan pada jenis lahan ini meliputi kecuraman lereng mencapai 65%, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, solum sangat dangkal, sering kali dijumpai singkapan batuan, dan padang pasir.



Sumber :
Eko Titis Prasongko. 2009. Geografi 3 : Untuk Siswa Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Search This Blog

Hit Counter

Please Join This Site !!!

Contributors

Reza Maulana. Powered by Blogger.

Arsip Blog

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. GUDANG ARTIKEL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger